Purnama Dalam Tangan Anakku
Rencana Tuhan tidak akan pernah bisa terbaca,begitulah setidaknya saat
kepulangan istriku tiga tahun yang lalu,Allah memanggilnya...sepuluh hari
semenjak melahirkan anak kami yang ketiga. Duniaku runtuh,aku tiba tiba saja
harus ditinggalkan satu satunya orang yang paling dekat denganku,benar benar
teman hidupku,dengan tiga anak yang harus kuurus. Dunia untukku sudah
berakhir,langit pecah berkeping keping dan pecahannya menusuk jiwaku dalam
dalam.Tapi toh aku tetap harus hidup,untuk segala kenangan indah yang telah dia
wariskan untukku.Aku harus segera mencuci air mataku,menengadah berusaha
tersenyum untuk anak anakku.
Karena itulah,saat cuti berkabungku sudah selesai,dengan enggan aku kembali
ngantor.Tapi entah mengapa, justru di hari pertama itu aku benar benar tidak
bisa tenang bekerja.Aku begitu merindukan
istriku,aku rindu anak anakku. Jam satu siang hpku berbunyi..anakku yang paling
besar menelpon dari rumah..Ah,tentu sudah pulang sekolah jagoanku yang satu
ini.Cowok yang satu ini sudah kelas tiga SD,adiknya perempuan..baru TK nol
kecil.
“Bapak cepetan pulang,” teriaknya histeris.
“Kenapa,” tanyaku panik.
“Adik dikunci di kamar,mbak Anik pergi...”
Anakku yang kedua dan si bayi-keduanya perempuan-menggigil ketakutan di
dalam kamar,bajunya basah oleh air mata. Perempuan berhati apakah yang tega
meninggalkan dua anak kecil yang diasuhnya menangis terkunci di kamar,entah
sudah berapa jam lamanya. Yah,pengasuh anakku melarikan diri dari rumah,tentulah
dengan membawa sedikit barang dan perhiasan yang sempat dia temukan. Tapi aku
masih bersyukur,entah apa jadinya seandainya dia membawa anak anakku pergi
bersamanya.
Dan begitulah,setelah merenung di rumah sekian hari,tidak mampu menemukan
jalan yang tepat namun aman bagi anak-anakku,akhirnya aku mengundurkan diri
dari perusahaan tempatku bekerja. Aku yang telah sekian tahun mengabdi,dengan
posisi terahir sebagai manager pemasaran untuk Indonesia Timur,mengalah pada nasib. Bosku jauh jauh datang dari Singapura,bertandang
kerumah untuk membujukku membatalkan maksudku. Sambil tersendat aku menceritakan
kisahku,dan si Bos yang telah begitu sangat mengenalku, dengan sangat berat hati akhirnya meluluskan
permintaanku.
Uang pesangon yang kuterima ditambah bonus ini itu atas jasa jasaku selama
bekerja jumlahnya lumayan besar,tapi tidak cukup besar untuk membesarkan
anak-anakku. Lalu dengan perhitungan yang sangat hati hati aku menjual semua
barang barang yang tidak terlalu kami butuhkan. Hampir semua barang barang
itu,semacam TV Plasma,mesin cuci bahkan sepeda gunung dan mobil sedanku terjual
pada teman teman kantor dengan
harga diatas harga pasaran. Mereka yang turut prihatin dengan keadaanku membeli
beberapa barang -yang aku tahu persis-tidaklah terlalu mereka butuhkan. Mereka hanya ingin
membantuku. Dan yang terakhir adalah… menjual rumah ! Berat
sekali,karena di rumah itu kenangan pada mendiang istriku sebetulnya ingin
tetap kujaga. Tapi aku tak punya pilihan,dan terjual pulalah rumah itu bersama
semua kenangan di dalamnya. Aku dan anakku menangis ketika meninggalkannya. Selamat
tinggal masa lalu...tunggulah aku menyelesaikan tugasku.
Semua uang yang aku peroleh aku bagi jadi enam sama rata. Tiga bagian aku
masukkan ke Bank konversi Emas,menjadi tabungan jangka panjang untuk ketiga
anakku. Mereka akan bisa mengambil uang itu setamat mereka SMA kelak. Satu bagian
kusisihkan untuk keperluan hidup paling tidak selama beberapa tahun kalau kami bisa hidup seirit
mungkin. Satu bagian ku belikan rumah sederhana di sebuah perumahan,dan satu
bagian rencananya akan kupakai untuk berbisnis.Tapi bisnis apa?
Setelah mengantarkan anakku kesekolah mereka yang baru dan letaknya tidak
jauh dari rumah,aku berkeliling komplek dengan bayi mungilku dalam gendongan. Selama
beberapa hari aku berputar putar saja selama beberapa jam tanpa tahu harus
berbuat apa. Lalu kemudian aku menyadari, ternyata tetanggaku kebanyakan
mahasiswa dan pelajar. Aku tahu harus berbisnis apa !!
Dengan bantuan bekas teman kantorku dulu,aku mendapatkan sebuah mesin foto
copy bekas yang masih bagus, beberapa buah komputer rakitan dan jadilah.Usaha
foto copy dan warung internet ! Ruang tamu
dan sedikit sisa halaman rumah,aku sulap menjadi kios dan tempat foto
copy, tapi karena menyatu dengan rumah maka stylenya aku akali sehingga pada
akhirnya tempat itu menjadi unik dan artistik. Kemampuan yang tercipta karena
kepepet !
Satu minggu penuh …tidak
ada satupun pelanggan yang mampir. Setiap malam aku menangis, sakit hatiku
melihat anak anakku. Maafkan bapak,ya nak ! Hampir satu bulan telah
berlalu, keadaan hampir tak berubah.Paling paling Cuma foto copy KTP atau
Ijasah. Untuk jajan anakku saja jelas tidak cukup. Internet juga begitu,pernah
ada yang datang,lalu dia protes kenapa ada alamat Web yang tidak bisa di
akses. Aku menjawab,kalau mau masuk situs porno sebaiknya ngerental di tempat
lain saja. Aku memang kepepet,tapi aku tak mau membabi buta,beberapa situs
sengaja ku blok agar tidak bisa di buka.
Bulan kedua nasib bergerak dengan amat pelan dan misterius, beberapa
mahasiswi mulai sering berkunjung. Hal yang tidak aku sadari ternyata didepan
rumahku adalah asrama untuk mahasiswi penerima beasiswa dari berbagai yayasan
dalam dan luar negeri. Mereka sopan sopan,dan jelas aura kepintaran terpancar
kuat dari wajah mereka. Seperti aku bilang,tempat usahaku sebetulnya adalah
bagian rumah yang kusulap jadi tempat usaha. Jadi untuk ruangan internet
yah..ruang tamu lah yang kupake. Tapi ternyata menguntungkan, mereka rupanya
kerasan disana, walau mereka sudah
selesai Browsing atau ngetik makalah, mereka betah duduk diskusi di sana, malah
mengerjakan tugas juga di sana. Maka ramailah rumahku dengan berbagai rumus dan
diskusi.
Tapi sebagaimana “kebanyakan” anak anak jenius yang kuliah dengan modal
otaknya saja, sebagian besar dari mereka tentu saja,maaf....Miskin ! (He..he,kan
sudah maaf tadi). Berat lidahku untuk berkata jujur-bayar dong! Pake beli beras nih. Jadi
begitulah, aku miskin-semiskin miskinnya ketika pertengahan bulan, lalu mulai
tersenyum ketika mereka membayar utangnya di awal bulan. Kadang dengan bonus
martabak untuk anak anakku.
Tanpa disadari,rumahku kemudian menjadi sarang mahluk mahluk intelektual
ini, enam jumlahnya. Oh ya,yang kubilang asrama di depan rumah itu adalah asrama
untuk cewek . Dan cewek cewek pintar dan cantik cantik ini kemudian menjadi
magnet bagi cewek cewek lainnya...dan yang pasti,kemudian para cowok mengekor
di belakang mereka. Karena itulah rumah ini kemudian menjadi sarang tawon. Sangat
solid,tapi dengan peraturan yang sangat ketat, No Drugs,No Porn,Utang...Yes ! Saking
kompaknya mereka,di depan rumah lalu di pasang papan pengumuman artistik dari
papan tak diserut,tanpa meminta ijinku pula,tulisannya ngawur..Kelompok Study
“Mawar 21”.Mawar 21 adalah alamat rumahku. Rencana jangka panjangnya ternyata
mulia, kelompok ini ingin suatu saat menjadi semacam CSIS untuk daerah
mereka. Merdeka ! Salut untuk kalian...
Suatu hari di masa masa awal itulah, sebuah mini sedan dari merk ternama
parkir di depan rumah. Kemudian bagai sebuah film India dalam slow motion,keluar
bidadari putih langsing, dandanan kelas selebritis dengan rambut terayun
sebahu. Dialah sang pemimpin kelompok ini. Mahasiswi kedokteran jurusan
akhir,super pintar,putri seorang petinggi Bank pemerintah, dengan ibu seorang
Notaris ternama. Apalah kurangnya bidadari ini. Sinar kecerdasan dan kesolehan
terpancar kuat dari wajahnya. Kalau berbicara,tidak laki tidak perempuan akan
termangu mendengarkan,kata kata orang cerdas memang enak nadanya.
Aku yang ketika itu ternganga menatapnya-tanpa bermaksud tidak sopan, kemudian
menjulukinya Sang Purnama. Karena bulan tidak seperti matahari, matahari menutupi
sinar dari benda disekelilingnya, tapi bulan tidak. Walaupun sedang purnama, ia
masih menyisakan cukup ruang bagi bintang agar turut bersinar.
Purnama ini ternyata bernama Wulandari, bapak Pare Pare, ibu Sidoarjo. Tak
segan menyapu “kantorku” ketika tebaran puntung rokok dan gumpalan kertas
bertumpuk tak teratur. Berdebat dengan sangat keras dengan mahasiswa mahasiswa
gondrong yang mengaku ‘komunis’ dengan tangguh dan percaya diri. Dia pulalah
dengan kelompok bintangnya(Mahasiswi depan rumah) yang berpikir untuk memperluas
bidang usahaku. Kami sekeluarga terusir, dipaksa ngontrak rumah samping yang
kebetulan lagi kosong, karena sisa
rumah kami akhirnya di jadikan toko kelontong. Belum lagi pagar yang diruntuhkan
kemudian berdirilah warung “segala macam”,mulai kopi sampe mie rebus,dari nasi
sampe roti semua ada. Mereka mereka sendiri yang memasak dan mengaturnya. Aku
hanya mendapat komisi yang yah...alhamdulillah berkah.
Dengan ide idenya itu, banyak teman temannya yang membutuhkan tambahan uang
untuk biaya hidup,atau sekedar mencari tambahan uang untuk beli jeans, tertolong
dengan proyek ini. Secara bergiliran mereka menjadi kasir sekaligus pelayan di
toko itu, sebagian lain mendapat jatah proyek pengetikan komputer di ruang
tamu. Aku yang awalnya was was dengan keadaan yang menurutku agak di luar
kendali itu, akhirnya hanya terdiam..nyamang ! Setiap akhir bulan mereka membuat
perincian kas masuk dan keluar. Begitu terperinci,mutakhir....Luar biasanya mahasiswa mahasiswa ini. Pelajar yang
masuk kampus memang untuk belajar,bukannya kemudian keluar lagi lalu teriak
teriak di jalan sambil bakar ban. Berbicara atas nama rakyat tapi dengan
menyusahkan rakyat. Buntut buntutnya...Demonya bayaran.
Menjelang 2 tahun kehebohan itu, rumah kontrakan yang sekarang
kami tinggali, atas karunia Allah, berhasil kami beli. Alhamdulillah. Masa depan
kembali terbayang di depan mata. Apalagi tiupan angin surga itu kembali
berhembus pada suatu malam, ketika mantan Bosku menelpon,mengajakku kembali
bergabung di perusahaannya. Posisi sama tapi fasilitas dan gaji yang...masyaAllah,besar
sungguh karuniamu untukku, setelah cobaan yang demikian berat dan pahit. Tapi aku
belum bisa kerja kantoran lagi, biarlah hidupku sekarang hanya untuk anak anakku
dulu.
Aku mulai bisa merasakan tenangnya hidup, mulai fokus lagi pada anak
anakku. Tenang ? Ternyata tidak. Aku memang sungguh beruntung karena keadaan
ini, aku tak perlu repot repot mengajari anak anakku, mahasiswa mahasiswi itu
secara telaten, bergantian duduk menemani anakku belajar. Dan hasilnya tentu
luar biasa, anakku yang pertama menjadi juara umum matematika tingkat
propinsi, padahal dia baru kelas lima. Dan beberapa utusan SMP-SMP favorit telah
berkunjung untuk melobyku agar anakku bisa sekolah di tempat mereka. Adiknya yang perempuan menjadi rangking satu
di kelasnya, sementara yang bungsu...ampun ! Lagu lagu ST 12 sampai Mulan Jameela
lancar dia nyanyikan...kalau lagi show di depan mahasiswa mahasiswi itu, gayanya luar biasa,
”pantakku sessi,itu embutti...Lalu meledaklah tawa mereka.Sungguh
tenang.Tenang?
Suatu hari, tahu tahu saja beberapa meja panjang lengkap dengan bangku
bangkunya nangkring di halaman rumahku. Rumah yang baru aku beli !! Belum sempat
aku bertanya berdatanganlah para orangtua dan anak anaknya, lumayan-sekitar lima
belas anak SD dari semua kelas,tumpah ruah di halaman rumahku. Aku jengkel dan
sempat mau protes sampai kulihat ketiga anakku berlarian bermain dengan sangat senangnya. Akhirnya
kubiarkan kelompok study itu mendirikan tempat kursus khusus anak sekolah
dasar, tujuannya bisa kupahami, supaya anakku bisa bermain dengan teman sebayanya. Kan
selama ini anakku bergaulnya dengan para mahasiswa, walaupun baik tetap tidak
sehat. Kursus itu berjalan dengan mulus, sangat mulus malah..mereka bahkan menolak siswa baru karena
keterbatasan tempat.Quality not just Quantity. Bukan itu saja,mereka berencana
pula hendak membuat sebuah tempat
penitipan anak, maksudnya supaya si bungsu juga punya teman bermain, tapi dengan
sangat keras aku menolaknya. Aku merawat anakku sendiri karena keadaan, bukan
karena hoby,aku tak sanggup membayangkan belasan anak anak ingusan berkeliaran
di rumahku. Tak usyah ya…..
Suatu malam, si bungsu mendadak panas tinggi. Badannya yang biasanya tidak
pernah bisa diam, kini terkulai layu dalam pelukanku. Darah memercik keluar dari
hidung mungilnya. Panik,dengan diantar sang Purnama aku membawanya ke rumah
sakit. Anak anakku yang lain kutinggal dengan komunitas itu di rumah. Dokter
menyuruh anakku untuk rawat inap, demam berdarah. Nyaliku meluncur ke ubun
ubun,aku tahu bahayanya penyakit ini.
Dan hanya perlu empat hari untuk
membuatku kurus kering seperti mumi. Empat hari nyaris tidak tidur, tidak
makan, setiap saat aku di sampingnya, menggenggam tangan mungilnya, tak sanggup
membayangkan hal yang buruk yang mungkin terjadi. Empat hari menangis meminta
maaf pada anakku, pada almarhum istriku. Dan pada hari keempat itu sang Purnama
menangis di depanku. Aku seperti baru keluar dari gua kegelapan, aku peluk kedua
anakku yang lain. Empat hari aku lalai,menelantarkan mereka. Terpuruk karena ego
tak mau kehilangan permataku yang lain. Maafkan Bapak....
Masa kritis sudah berlalu, anakku tidur dalam kedamaian penyembuhan. Aku sudah
mulai merapikan diri lagi. Kedua anakku yang besar menjaga adiknya. Diluar sang
Purnama menungguku. Kemudian menawarkan cahayanya untukku dan anak anakku. Aku
terpekur menatap kedalaman matanya. Aku sadar,sesadar sadarnya sekarang.
Sang purnama ini,dalam tiga tahun kehidupan kami,telah memutar arah roda
keluargaku tanpa ku sadari. Apa yang dia ucapkan sekarang telah dia persiapkan
tiga tahun yang lalu ketika pertama kali menggendong si bungsu. Dia yang tanpa
kusadari selama ini telah menjadi pengganti ibu buat anak anakku. Menyuap dan
memandikan si bungsu, mengajari anak anak ku yang lain, Aih...bodohnya aku selama
ini. Tapi kenapa? Kenapa Purnama rela untuk gerhana?
“Saya telah melihat perhatian abang pada keluarga abang,saya iri dan begitu
sangat inginnya saya menjadi bagian keluarga abang”.
Aku termenung menatap jari jari kakiku yang tak beralas.
“Aku mencintai istriku,aku tak bisa mengganti cintanya dalam hatiku”
Sang Purnama menggenggam tanganku.
“Aku juga tak mau menggantikan cinta istri abang, aku hormat dan
menyayanginya. Aku tahu hanya wanita luar biasa yang bisa mendapatkan cinta dan
kesetiaan seperti ini, tapi sadarkah abang...abang tak kan mampu membesarkan
anak anak abang seorang diri”.
Aku menyadarinya, sudah lama aku bingung memikirkan cara, bagaimana mengajari
anak perempuanku memakai pembalut kelak. Atau mengajarinya memakai bedak dan
lipstik. Bagaimanapun aku berusaha untuk jadi sempurna,aku takkan mampu menjadi
seorang ibu buat mereka.
“Aku harus meminta ijin anak anakku dulu...”
Sang purnama tersenyum,”Aku sudah meminta ijin mereka…sudah lama”.
Dan begitulah,walau tidak mudah prosesnya,berliku seperti sinetron,masih
butuh lembar demi lembar untuk menceritakannya,purnama itu kini bersinar dalam
rumahku.
Wawondula,27
April 09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar