Minggu, 18 Maret 2012

Purnama Dalam Tangan Anakku


Purnama Dalam Tangan Anakku

Rencana Tuhan tidak akan pernah bisa terbaca,begitulah setidaknya saat kepulangan istriku tiga tahun yang lalu,Allah memanggilnya...sepuluh hari semenjak melahirkan anak kami yang ketiga. Duniaku runtuh,aku tiba tiba saja harus ditinggalkan satu satunya orang yang paling dekat denganku,benar benar teman hidupku,dengan tiga anak yang harus kuurus. Dunia untukku sudah berakhir,langit pecah berkeping keping dan pecahannya menusuk jiwaku dalam dalam.Tapi toh aku tetap harus hidup,untuk segala kenangan indah yang telah dia wariskan untukku.Aku harus segera mencuci air mataku,menengadah berusaha tersenyum untuk anak anakku.

Karena itulah,saat cuti berkabungku sudah selesai,dengan enggan aku kembali ngantor.Tapi entah mengapa, justru di hari pertama itu aku benar benar tidak bisa tenang bekerja.Aku begitu  merindukan istriku,aku rindu anak anakku. Jam satu siang hpku berbunyi..anakku yang paling besar menelpon dari rumah..Ah,tentu sudah pulang sekolah jagoanku yang satu ini.Cowok yang satu ini sudah kelas tiga SD,adiknya perempuan..baru TK nol kecil.

“Bapak cepetan pulang,” teriaknya histeris.

“Kenapa,” tanyaku panik.

“Adik dikunci di kamar,mbak Anik pergi...”

Anakku yang kedua dan si bayi-keduanya perempuan-menggigil ketakutan di dalam kamar,bajunya basah oleh air mata. Perempuan berhati apakah yang tega meninggalkan dua anak kecil yang diasuhnya menangis terkunci di kamar,entah sudah berapa jam lamanya. Yah,pengasuh anakku melarikan diri dari rumah,tentulah dengan membawa sedikit barang dan perhiasan yang sempat dia temukan. Tapi aku masih bersyukur,entah apa jadinya seandainya dia membawa anak anakku pergi bersamanya.

Dan begitulah,setelah merenung di rumah sekian hari,tidak mampu menemukan jalan yang tepat namun aman bagi anak-anakku,akhirnya aku mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja. Aku yang telah sekian tahun mengabdi,dengan posisi terahir sebagai manager pemasaran untuk Indonesia Timur,mengalah pada nasib. Bosku jauh jauh datang dari Singapura,bertandang kerumah untuk membujukku membatalkan maksudku. Sambil tersendat aku menceritakan kisahku,dan si Bos yang telah begitu sangat mengenalku, dengan sangat berat hati akhirnya meluluskan permintaanku. 

Uang pesangon yang kuterima ditambah bonus ini itu atas jasa jasaku selama bekerja jumlahnya lumayan besar,tapi tidak cukup besar untuk membesarkan anak-anakku. Lalu dengan perhitungan yang sangat hati hati aku menjual semua barang barang yang tidak terlalu kami butuhkan. Hampir semua barang barang itu,semacam TV Plasma,mesin cuci bahkan sepeda gunung dan mobil sedanku terjual pada teman teman kantor  dengan harga diatas harga pasaran. Mereka yang turut prihatin dengan keadaanku membeli beberapa barang -yang aku tahu persis-tidaklah terlalu mereka butuhkan. Mereka hanya ingin membantuku. Dan yang terakhir adalah menjual rumah !  Berat sekali,karena di rumah itu kenangan pada mendiang istriku sebetulnya ingin tetap kujaga. Tapi aku tak punya pilihan,dan terjual pulalah rumah itu bersama semua kenangan di dalamnya. Aku dan anakku menangis ketika meninggalkannya. Selamat tinggal masa lalu...tunggulah aku menyelesaikan tugasku.

Semua uang yang aku peroleh aku bagi jadi enam sama rata. Tiga bagian aku masukkan ke Bank konversi Emas,menjadi tabungan jangka panjang untuk ketiga anakku. Mereka akan bisa mengambil uang itu setamat mereka SMA kelak. Satu bagian kusisihkan untuk keperluan hidup paling tidak selama beberapa tahun kalau kami bisa hidup seirit mungkin. Satu bagian ku belikan rumah sederhana di sebuah perumahan,dan satu bagian rencananya akan kupakai untuk berbisnis.Tapi bisnis apa?

Setelah mengantarkan anakku kesekolah mereka yang baru dan letaknya tidak jauh dari rumah,aku berkeliling komplek dengan bayi mungilku dalam gendongan. Selama beberapa hari aku berputar putar saja selama beberapa jam tanpa tahu harus berbuat apa. Lalu kemudian aku menyadari, ternyata tetanggaku kebanyakan mahasiswa dan pelajar. Aku tahu harus berbisnis apa !!

Dengan bantuan bekas teman kantorku dulu,aku mendapatkan sebuah mesin foto copy bekas yang masih bagus, beberapa buah komputer rakitan dan jadilah.Usaha foto copy dan warung internet ! Ruang tamu  dan sedikit sisa halaman rumah,aku sulap menjadi kios dan tempat foto copy, tapi karena menyatu dengan rumah maka stylenya aku akali sehingga pada akhirnya tempat itu menjadi unik dan artistik. Kemampuan yang tercipta karena kepepet !

Satu minggu penuhtidak ada satupun pelanggan yang mampir. Setiap malam aku menangis, sakit hatiku melihat anak anakku. Maafkan bapak,ya nak ! Hampir satu bulan telah berlalu, keadaan hampir tak berubah.Paling paling Cuma foto copy KTP atau Ijasah. Untuk jajan anakku saja jelas tidak cukup. Internet juga begitu,pernah ada yang datang,lalu dia protes kenapa ada alamat Web yang tidak bisa di akses. Aku menjawab,kalau mau masuk situs porno sebaiknya ngerental di tempat lain saja. Aku memang kepepet,tapi aku tak mau membabi buta,beberapa situs sengaja ku blok agar tidak bisa di buka.

Bulan kedua nasib bergerak dengan amat pelan dan misterius, beberapa mahasiswi mulai sering berkunjung. Hal yang tidak aku sadari ternyata didepan rumahku adalah asrama untuk mahasiswi penerima beasiswa dari berbagai yayasan dalam dan luar negeri. Mereka sopan sopan,dan jelas aura kepintaran terpancar kuat dari wajah mereka. Seperti aku bilang,tempat usahaku sebetulnya adalah bagian rumah yang kusulap jadi tempat usaha. Jadi untuk ruangan internet yah..ruang tamu lah yang kupake. Tapi ternyata menguntungkan, mereka rupanya kerasan disana, walau mereka sudah selesai Browsing atau ngetik makalah, mereka betah duduk diskusi di sana, malah mengerjakan tugas juga di sana. Maka ramailah rumahku dengan berbagai rumus dan diskusi.

Tapi sebagaimana “kebanyakan” anak anak jenius yang kuliah dengan modal otaknya saja, sebagian besar dari mereka tentu saja,maaf....Miskin ! (He..he,kan sudah maaf tadi). Berat lidahku untuk berkata jujur-bayar dong! Pake beli beras nih. Jadi begitulah, aku miskin-semiskin miskinnya ketika pertengahan bulan, lalu mulai tersenyum ketika mereka membayar utangnya di awal bulan. Kadang dengan bonus martabak untuk anak anakku.

Tanpa disadari,rumahku kemudian menjadi sarang mahluk mahluk intelektual ini, enam jumlahnya. Oh ya,yang kubilang asrama di depan rumah itu adalah asrama untuk cewek . Dan cewek cewek pintar dan cantik cantik ini kemudian menjadi magnet bagi cewek cewek lainnya...dan yang pasti,kemudian para cowok mengekor di belakang mereka. Karena itulah rumah ini kemudian menjadi sarang tawon. Sangat solid,tapi dengan peraturan yang sangat ketat, No Drugs,No Porn,Utang...Yes ! Saking kompaknya mereka,di depan rumah lalu di pasang papan pengumuman artistik dari papan tak diserut,tanpa meminta ijinku pula,tulisannya ngawur..Kelompok Study “Mawar 21”.Mawar 21 adalah alamat rumahku. Rencana jangka panjangnya ternyata mulia, kelompok ini ingin suatu saat menjadi semacam CSIS untuk daerah mereka. Merdeka ! Salut untuk kalian...

Suatu hari di masa masa awal itulah, sebuah mini sedan dari merk ternama parkir di depan rumah. Kemudian bagai sebuah film India dalam slow motion,keluar bidadari putih langsing, dandanan kelas selebritis dengan rambut terayun sebahu. Dialah sang pemimpin kelompok ini. Mahasiswi kedokteran jurusan akhir,super pintar,putri seorang petinggi Bank pemerintah, dengan ibu seorang Notaris ternama. Apalah kurangnya bidadari ini. Sinar kecerdasan dan kesolehan terpancar kuat dari wajahnya. Kalau berbicara,tidak laki tidak perempuan akan termangu mendengarkan,kata kata orang cerdas memang enak nadanya.

Aku yang ketika itu ternganga menatapnya-tanpa bermaksud tidak sopan, kemudian menjulukinya Sang Purnama. Karena bulan tidak seperti matahari, matahari menutupi sinar dari benda disekelilingnya, tapi bulan tidak. Walaupun sedang purnama, ia masih menyisakan cukup ruang bagi bintang agar turut bersinar.

Purnama ini ternyata bernama Wulandari, bapak Pare Pare, ibu Sidoarjo. Tak segan menyapu “kantorku” ketika tebaran puntung rokok dan gumpalan kertas bertumpuk tak teratur. Berdebat dengan sangat keras dengan mahasiswa mahasiswa gondrong yang mengaku ‘komunis’ dengan tangguh dan percaya diri. Dia pulalah dengan kelompok bintangnya(Mahasiswi depan rumah) yang berpikir untuk memperluas bidang usahaku. Kami sekeluarga terusir, dipaksa ngontrak rumah samping yang kebetulan lagi kosong, karena sisa rumah kami akhirnya di jadikan toko kelontong. Belum lagi pagar yang diruntuhkan kemudian berdirilah warung “segala macam”,mulai kopi sampe mie rebus,dari nasi sampe roti semua ada. Mereka mereka sendiri yang memasak dan mengaturnya. Aku hanya mendapat komisi yang yah...alhamdulillah berkah.

Dengan ide idenya itu, banyak teman temannya yang membutuhkan tambahan uang untuk biaya hidup,atau sekedar mencari tambahan uang untuk beli jeans, tertolong dengan proyek ini. Secara bergiliran mereka menjadi kasir sekaligus pelayan di toko itu, sebagian lain mendapat jatah proyek pengetikan komputer di ruang tamu. Aku yang awalnya was was dengan keadaan yang menurutku agak di luar kendali itu,  akhirnya hanya terdiam..nyamang ! Setiap akhir bulan mereka membuat perincian kas masuk dan keluar. Begitu terperinci,mutakhir....Luar biasanya mahasiswa mahasiswa ini. Pelajar yang masuk kampus memang untuk belajar,bukannya kemudian keluar lagi lalu teriak teriak di jalan sambil bakar ban. Berbicara atas nama rakyat tapi dengan menyusahkan rakyat. Buntut buntutnya...Demonya bayaran. 

Menjelang 2 tahun kehebohan itu, rumah kontrakan yang sekarang kami tinggali, atas karunia Allah, berhasil kami beli. Alhamdulillah. Masa depan kembali terbayang di depan mata. Apalagi tiupan angin surga itu kembali berhembus pada suatu malam, ketika mantan Bosku menelpon,mengajakku kembali bergabung di perusahaannya. Posisi sama tapi fasilitas dan gaji yang...masyaAllah,besar sungguh karuniamu untukku, setelah cobaan yang demikian berat dan pahit. Tapi aku belum bisa kerja kantoran lagi, biarlah hidupku sekarang hanya untuk anak anakku dulu.

Aku mulai bisa merasakan tenangnya hidup, mulai fokus lagi pada anak anakku. Tenang ? Ternyata tidak. Aku memang sungguh beruntung karena keadaan ini, aku tak perlu repot repot mengajari anak anakku, mahasiswa mahasiswi itu secara telaten, bergantian duduk menemani anakku belajar. Dan hasilnya tentu luar biasa, anakku yang pertama menjadi juara umum matematika tingkat propinsi, padahal dia baru kelas lima. Dan beberapa utusan SMP-SMP favorit telah berkunjung untuk melobyku agar anakku bisa sekolah di tempat mereka.  Adiknya yang perempuan menjadi rangking satu di kelasnya, sementara yang bungsu...ampun ! Lagu lagu ST 12 sampai Mulan Jameela lancar dia nyanyikan...kalau lagi show di depan mahasiswa mahasiswi itu, gayanya luar biasa,

”pantakku sessi,itu embutti...Lalu meledaklah tawa mereka.Sungguh tenang.Tenang?

Suatu hari, tahu tahu saja beberapa meja panjang lengkap dengan bangku bangkunya nangkring di halaman rumahku. Rumah yang baru aku beli !! Belum sempat aku bertanya berdatanganlah para orangtua dan anak anaknya, lumayan-sekitar lima belas anak SD dari semua kelas,tumpah ruah di halaman rumahku. Aku jengkel dan sempat mau protes sampai kulihat ketiga anakku berlarian bermain dengan sangat senangnya. Akhirnya kubiarkan kelompok study itu mendirikan tempat kursus khusus anak sekolah dasar, tujuannya bisa kupahami, supaya anakku bisa bermain dengan teman sebayanya. Kan selama ini anakku bergaulnya dengan para mahasiswa, walaupun baik tetap tidak sehat. Kursus itu berjalan dengan mulus, sangat mulus malah..mereka bahkan menolak siswa baru karena keterbatasan tempat.Quality not just Quantity. Bukan itu saja,mereka berencana pula hendak membuat sebuah tempat penitipan anak, maksudnya supaya si bungsu juga punya teman bermain, tapi dengan sangat keras aku menolaknya. Aku merawat anakku sendiri karena keadaan, bukan karena hoby,aku tak sanggup membayangkan belasan anak anak ingusan berkeliaran di rumahku. Tak usyah ya…..

Suatu malam, si bungsu mendadak panas tinggi. Badannya yang biasanya tidak pernah bisa diam, kini terkulai layu dalam pelukanku. Darah memercik keluar dari hidung mungilnya. Panik,dengan diantar sang Purnama aku membawanya ke rumah sakit. Anak anakku yang lain kutinggal dengan komunitas itu di rumah. Dokter menyuruh anakku untuk rawat inap, demam berdarah. Nyaliku meluncur ke ubun ubun,aku tahu bahayanya penyakit ini.

Dan hanya perlu  empat hari untuk membuatku kurus kering seperti mumi. Empat hari nyaris tidak tidur, tidak makan, setiap saat aku di sampingnya, menggenggam tangan mungilnya, tak sanggup membayangkan hal yang buruk yang mungkin terjadi. Empat hari menangis meminta maaf pada anakku, pada almarhum istriku. Dan pada hari keempat itu sang Purnama menangis di depanku. Aku seperti baru keluar dari gua kegelapan, aku peluk kedua anakku yang lain. Empat hari aku lalai,menelantarkan mereka. Terpuruk karena ego tak mau kehilangan permataku yang lain. Maafkan Bapak....

Masa kritis sudah berlalu, anakku tidur dalam kedamaian penyembuhan. Aku sudah mulai merapikan diri lagi. Kedua anakku yang besar menjaga adiknya. Diluar sang Purnama menungguku. Kemudian menawarkan cahayanya untukku dan anak anakku. Aku terpekur menatap kedalaman matanya. Aku sadar,sesadar sadarnya sekarang.

Sang purnama ini,dalam tiga tahun kehidupan kami,telah memutar arah roda keluargaku tanpa ku sadari. Apa yang dia ucapkan sekarang telah dia persiapkan tiga tahun yang lalu ketika pertama kali menggendong si bungsu. Dia yang tanpa kusadari selama ini telah menjadi pengganti ibu buat anak anakku. Menyuap dan memandikan si bungsu, mengajari anak anak ku yang lain, Aih...bodohnya aku selama ini. Tapi kenapa? Kenapa Purnama rela untuk gerhana?

“Saya telah melihat perhatian abang pada keluarga abang,saya iri dan begitu sangat inginnya saya menjadi bagian keluarga abang”.

Aku termenung menatap jari jari kakiku yang tak beralas.

“Aku mencintai istriku,aku tak bisa mengganti cintanya dalam hatiku”

Sang Purnama menggenggam tanganku.

“Aku juga tak mau menggantikan cinta istri abang, aku hormat dan menyayanginya. Aku tahu hanya wanita luar biasa yang bisa mendapatkan cinta dan kesetiaan seperti ini, tapi sadarkah abang...abang tak kan mampu membesarkan anak anak abang seorang diri”.

Aku menyadarinya, sudah lama aku bingung memikirkan cara, bagaimana mengajari anak perempuanku memakai pembalut kelak. Atau mengajarinya memakai bedak dan lipstik. Bagaimanapun aku berusaha untuk jadi sempurna,aku takkan mampu menjadi seorang ibu buat mereka.

“Aku harus meminta ijin anak anakku dulu...”

Sang purnama tersenyum,”Aku sudah meminta ijin mereka…sudah lama”.

Dan begitulah,walau tidak mudah prosesnya,berliku seperti sinetron,masih butuh lembar demi lembar untuk menceritakannya,purnama itu kini bersinar dalam rumahku.



                                                                        Wawondula,27 April 09.
                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar