Kamis, 15 Maret 2012

DI BALIK CERMIN


DI BALIK CERMIN

     Siang itu hp istriku berdering,tak lama kemudian diapun menjerit pelan. Mukanya memucat,gemetar kulihat badannya. Diapun pergi ke halaman supaya dapat sinyal yang lebih kuat.Agak lama juga dia bicara di tengah hari yang terik itu,pasti soal yang sangat gawat !! Benar juga,ketika menghampiriku mukanya merah sekali,entah karena kepanasan atau karena berita heboh yang barusan diterimanya.

     Bapaknya ternyata mengalami kecelakaan. Beliau semenjak ibu mertuaku meninggal, tinggal berdua saja dengan kakak laki laki istriku. Siang itu beliau sedang memasak nasi dengan kuali bertekanan. Itu lo..prestokah namanya ? Dan dengan santai, sambil memasak beliau mengambil Koran pagi,mengangkat kaki ke atas meja dan mulai membaca. Lupa dia akan nasinya, begitu sadar beliau kaget, karena takut pancinya meledak , beliau sampai melompat dari kursi, terjatuh dan kakinya terantuk meja. Patah tebu tulang keringnya.

     Bapak mertuaku ini orang yang teguh,tak sedikitpun gentar ketika mengatakan tidak pada semua handai taulan yang memaksanya pergi ke rumah sakit.Diurut saja beres,katanya santai. Padahal anak anaknya juga bukanlah orang yang biasa, satu manager pemasaran di sebuah distributor nasional, satu manager sebuah bank swasta besar dan istriku..analis di sebuah perusahaan tambang dunia, jadi masalah biaya bukanlah soal bagi kami. Dia masih saja bersikeras dengan sikapnya walaupun bibirnya membiru menahan sakit.Setelah sekian lama terjadi pergolakan, beliau akhirnya mau juga di bawa ke rumah sakit, itupun hanya untuk foto rontgen kakinyanya, tidak lebih tidak kurang…Setelah itu pulang.

     Tulang kering bapak, sejengkal diatas mata kakinya, patah menyilang. Benar benar patah ! Mataku pun bisa melihat kedua patahan tulang yang tidak lagi simetris itu.  Sore harinya, kaki bapak membengkak tiga kali besarnya. Beliaupun mulai mengaduh aduh, karena itu akhirnya beliau menyerah dan mau di bawa berobat. Cilakanya…beliau tidak mau ke dokter,bukan pula ke rumah sakit, tapi ke orang ‘pintar’ yang di tunjukkan anak anak muda yang biasa main catur dengannya. Kami semua ngomel ngomel tapi tak berdaya mempengaruhinya.


     Orang ‘pintar’ dalam penilaianku hanya ada dua, yang pertama berambut gimbal dan menyeramkan pembawaannya, atau yang kedua pastilah lekat simbol simbol keagamaan dalam dirinya. Tapi penilaianku ini luntur ketika sampai di tujuan, aku yang awalnya hanya sekedar pesimis, berubah menilainya menjadi tidak percaya mutlak.

      Begitulah, setelah sekian setapak dan sekian lorong kami masuki dengan becak motor, kami sampai juga di rumah orang ‘pintar’ tersebut. Seorang ibu ibu berumur tiga puluhan, bertampang layaknya ibu rumah tangga biasa yang senang melihat gosip di televisi keluar menemui kami. Tak lama ritualnya, tak ada sesaji, tak ada bau kemenyan, dia hanya masuk dan kembali membawa segayung air dan disiramkan ke kaki bapak yang patah tadi. Kemudian sambil malu malu ibu tadi menyarankan bapak untuk tiap hari datang paling tidak selama dua minggu, ibu tadi lebih malu malu lagi ketika menerima uang yang di sodorkan bapak, kamipun pulang.

    Malamnya kami semua begadang menunggu bapak yang sebentar sebentar berucap..HEEEEH,dengan suara keras sambil memegangi kakinya yang patah. Kami semua campur aduk perasaannya, antara kasihan dan jengkel dengan sifat keras kepalanya. Tapi percayalah, tiga hari kemudian beliau sudah kembali  membaca koran dengan kaki kembali keatas meja. Kakinya masih bengkak, jalannya masih terpincang pincang, tapi tak ada tanda tanda pembusukan disekitar kaki patahnya.


     Hari itu hari ke tujuh setelah kejadian diatas, kami anak anak dan cucu cucunya sengaja berkumpul di rumah beliau. Beberapa kerabat datang dan ikut berkumpul untuk menyemangati bapak. Para nyonya berkumpul di dapur menyiapkan makanan, para bapak bapak berkumpul di teras main catur dan domino, cucu cucu sedang asyik nonton kartun di ruang tengah. Bapak mertuaku, santai di tempat biasa, dalam keteduhan pohon beringin, beliau duduk di kursi mengangkat kedua kakinya ke atas meja, membaca koran dengan cueknya. Begitulah beliau ! Lalu dalam keceriaan senda gurau dan baku ejek, tiba tiba kami di kejutkan teriak kesakitan beliau yang teramat keras.

     Bidak catur berhamburan, kartu domino di lempar sekenanya ke lantai, seorang tante kami yang jauh jauh datang dari kampung saat itu kebetulan sedang mengepel lantai, jatuh tertungging basah kuyup menabrak ember air. Kami merubung bapak yang mengaduh aduh keras, terbungkuk bungkuk memegangi kakinya yang patah. Kami yang awalnya ketakutan melihat beliau, menjadi terheran heran. Bagaimana tidak, di sela sela rintihan sakit beliau, kami juga melihat beliau meringis tertawa.

     Syahdan ceritanya, saat beliau asyik masyuk dengan korannya, beliau terganggu dengan dengung lalat di sekitarnya. Beliau menepis dengan tangannya, lalat tersebut pergi, tak lama kemudian si lalat kembali berkunjung,kali ini diajaknya saudaranya. Dan kurang ajarnya lalat dan saudaranya ini, kok ya bisa bisanya bercengkerama didekat telinga bapak mertuaku yang sedang santai menikmati hari.

     Jengkel dengan gangguan lalat bersaudara tadi, maka digulunglah sang koran dan di jadikan pemukul. Dengan kesabaran seorang pemburu bapak menunggu sang lalat hinggap. Celakanya lalat tidak tahu diri ini hinggap di tempat yang tidak semestinya, tepat di titik kaki beliau yang patah. Dan bapak mertuaku ini dengan keganasan seekor predator yang marah menghantam sang lalat dengan telak dengan gulungan koran!! Praaakk !! Pada kaki patahnya !! Maka melolonglah dia...


’ Patah lagi kakiku,patah lagi kakiku....’.


Kami terbahak bahak mengangkat beliau yang merintih rintih kesakitan keatas bentor,membawanya kembali ke orang ‘pintar’ tadi. Ibu yang mengobati bapak lupa pada mantranya,terbahak sambil menyiram kaki bapak yang bengkak kembali. Tetangga tetangganya yang mendengar keributan tersebut keluar dan ikut terbahak bersama kami.Bapak mertuaku meluap emosinya dan mengumpat....

‘Hai haso kalian semua....’, kalau saja beliau bisa berjalan, pasti sudah terhunus parang torajanya.

     Begitulah,satu bulan kemudian kami membawa bapak untuk foto rontgen lagi kakinya. Tanpa setitikpun anti biotik,tidak ada analgetik, tak selembarpun benang bedah, kaki bapak sembuh. Dokter radiologi itu menggeleng tak percaya, mulutnya bungkam kehabisan argumentasi ilmiah.

Kedua tulang yang patah itu tersambung kembali dengan sempurna.

     Dahulu kala ces, seorang nelayan sedang melaut, ketika sedang asyik asyiknya menangkap ikan, badai topan menerpa di sekitarnya. Sekian lama mengamuk, badai tersebut mematahkan tiang layar kapal nelayan tersebut. Tanpa layar dan perbekalan di tengah samudra luas, nelayan tadi pastilah sudah menengok alam kubur. Lalu pada malam ketiga, ketika nelayan tadi sudah pasrah lunglai di dasar perahunya, dia mendengar suatu suara. Suara tadi menyuruhnya memegang tiang layar yang patah dan mengajarinya mengucapkan sesuatu kalimat. Dengan ijin sang Maha Kuasa, tiang layar yang patah tadi tersambung kembali. Pulanglah nelayan tersebut kembali menemui keluarganya yang cemas. Ibu yang mengobati kaki bapak mertuaku, adalah cucu perempuan dari nelayan tadi.
Dunia di balik cermin. Anda percaya ?

Wawondula,14 januari 10

wahyuislamianto@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar